Jumat, 13 Mei 2016

Rumah Adat Sulawesi Barat



Sulawesi Barat, adalah propinsi pemekaran Sulawesi Selatan, berdasarkan UU No 26 Thn 2004, dengan ibukota Mamuju, wilayahnya meliputi, 5 kabupaten yaitu, kabupaten Mamuju, kabupaten Majene, kabupaten Polewali Mandar, kabupaten Mamasa dan kabupaten Mamuju Utara, letak geografisnya berada pada posisi silang antara Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah, dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar sebagai jalur pelayaran Nasional dan International. Kondisi Topografinya terdiri atas laut, dataran rendah serta dataran tinggi dengan tingkat kesuburan yang tinggi beriklim tropis.

Masyarakat Pesisir Sulawesi Barat terkenal sebagai pelaut ulung dengan perahu sandeq mereka menjelajah ke seluruh wilayah nusantara hingga ke Malaysia dan Australia sedangkan masyarakat yang berdiam di kawasan pegunungan memiliki kemiripan budaya dengan etnis Toraja seperti pada bentuk rumah, bahasa, pakaian serta upacara adat.

Rumah Adat Mandar

Rumah adat Mandar (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Rumah adat Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang”, yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut ”samboyang” (petak bagian depan), petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut ”bui’ lotang” (petak belakang). Rumah Adat Mandar disebut ”boyang”. dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu : ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa.

Pada ”boyang adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang, sedangkan boyang beasa, tangga tidak bersusun.

Bentuk Bangunan

Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Rumah ini memiliki panjang 20 meter dan lebar 15 meter.

Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi ”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut ”teppang”.

Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi). Pada umumnya, boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkan boyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqta dan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau dipindahkan.

Dinding rumah dari kayu (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan, alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga ”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi dengan pepattuang sebanyak dua atau tiga buah.

Pepattuang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego.

Tata Ruang

Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga ”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan.

Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasa mengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak paling depan. ”Tangnga boyang”, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin.

Ruang tengah (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.

Khusus pada boyang adaq, di dalam ruang boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau ”pelleteang”. Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dari pintu depan ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa dan ata (budak).

Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut ”paceko” (dapur). Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”.

Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan ”lego-lego” (teras). Bangunan ini biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garis vertikal dan horisontal. Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.

Tampak depan dengan tangga (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasa pada umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya, boyang adaq memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa” sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak bersusun dan tidak dilengkapi pegangan.

Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak. Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum wanita.

Kolong rumah (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Ragam Hias (Ornamen)

Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya.

Ornamen pada dinding (http://tommuanemandaronline.blogspot.com)

Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam hias ornamen”. Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen” umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak “ornamen”.

Banoa Sibatang

Rumah adat Banoa Sibatang (http://www.sulawesibarat.com)

Banoa Sibatang atau Banoa Batang adalah rumah adat tradisional Kalumpang. Rumah adat ini memiliki ciri tersendiri pada bagian atap dan keunikan pada bagian bawahnya. Rumah adat ini diyakini berkaitan langsung dengan nenek moyang Austronesia. Hal ini terlihat dari tiang rumah panggung yang disambungkan dengan lantai rumah memiliki pola berbentuk rakit. Hal ini diyakini sebagai jejak warisan bangsa Austronesia yang dulu bermigrasi dari Pulau Taiwan ke selatan dengan menggunakan rakit.

Sangat menarik untuk mengunjungi daerah Kalumpang karena daerah ini sudah lama menjadi daya tarik arkeolog untuk meneliti sejarah kehidupan nenek moyang Austronesia. Banyak ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyang yang di yakini sebagai bangsa Austronesia.

Kalumpang berada di Hulu sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat kecamatan Kalumpang Mamuju. Dengan jarak 180 km dari kota Mamuju, namun memiliki jarak 38 km dari pelabuhan Belang-belang pelabuhan utama provinsi Sulawesi Barat.

Informasi lebih lanjut hubungi

Rumah Pewaris dari Sulawesi Utara


Mengenal Walewangko: Rumah Adat Sulawesi Utara

Pulau sulawesi merupakan satu dari lima pulau besar di Indonesia. Bentuknya yang menyerupai huruf K ini dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Utara dengan ibukota Manado. Sudah pernah berkunjung ke tempat ini? Provinsi yang terdiri atas 11 kabupaten dan 4 kota ini tersohor karena beberapa hal. Salah satunya tentulah nilai budaya. Pernah mendengar nama Walewangko? Istilah ini merujuk pada rumah tradisional suku Minahasa yang mendiami Sulawesi Utara. Kini, ia juga dikenal luas sebagai rumah adat Sulawesi Utara.

Rumah Pewaris

Nama lain dari Walewangko adalah Rumah Pewaris. Rumah adat yang satu ini memiliki tampilan fisik yang apik. Ia secara umum digolongkan sebagai rumah panggung. Tiang penopangnya dibuat dari kayu yang kokoh. Dua di antara tiang penyanggah rumah ini, konon kabarnya, tak boleh disambung dengan apapun. Bagian kolong rumah pewaris ini lazim dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau godong.

Seperti rumah adat lainnya, rumah adat Sulawesi Utara ini dibagi juga ke dalam beberapa bagian utama antara lain:
  1. Bagian depan yang dikenal juga dengan istilah lesar. Bagian ini tidak dilengkapi dengan didnding sehingga mirip dengan beranda. Lesar ini biasanya digunakan sebagai tempat para tetau adat juga kepala suku yang hendak memberikan maklumat kepada rakyat.
  2. Bagian selanjutnya adalah Sekey atau serambi bagian depan. Berbeda dengan Lesar, si Sekey ini dilengkapi dengan dinding dan letaknya persis setelah pintu masuk. Ruangan ini sendiri difungsikan sebagai tempat untuk menerima tetamu serta ruang untuk menyelenggarakan upacara adat dan jejamuan untuk undangan.
  3. Bagian selanjutnya disebut dengan nama Pores. Ia merupakan tempat untuk menerima tamu yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik rumah. Terkadang ruangan ini juga digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu wanita dan juga tempat anggota keluarga melakukan aktifitas sehari-harinya. Pores ini umumnya bersambung langsung dengan dapur, tempat tidur dan juga makan.
Jika kita cermati, keunikan rumah pewaris ini terletak dari arsitektur depan rumah. Perhatikan saja susunan tangga yang berjumlah dua dan terletak di bagian kiri dan kanan rumah. Konon kabarnya, dua buah tangga ini berkaitan erat dengan kepercayaan suku Minahasa dalam mengusir roh jahat. Apabila roh tersebut naik melalui tangga yang satu maka serta merta ia akan turun lagi melalui tangga lainnya.

Rumah adat Bolaang Mangondow


Selain rumah pewaris atau Walewangko, dikenal juga rumah adat Sulawesi Utara lainnya yakni Bolaang Mangondow. Rumah yang satu ini memiliki atap yang melintang dengan bubungan yang sedikit curam. Bagian tangganya ada di depan rumah dengan serambi tanpa dinding. Adapun ruang dalam terdiri atas ruang induk dan ruang tidur. Ruang induk ini terdiri atas ruang depa, tempat makan juga tempat tidur serta dapur yang ada di bagian belakang rumah.


Tongkonan Rumah Adat Sulawesi Selatan

Tongkonan Rumah Adat Sulawesi Selatan - Tongkonan adalah warisan rumah adat Sulawesi Selatan. Sekilas rumah adat tongkonan ini mirip dengan rumah gadang dari Sumatera Barat. Akan tetapi ada yang khas dari rumah adat tongkonan ini. Dan dibawah ini adalah tentang rumah adat toraja dan penjelasannya.

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu atau tanduk kerbau, terdiri atas susunan bambu. Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Atapnya ditutupi dengan ijuk hitam, sedangkan bagian bawah biasanya dipergunakan sebagai kandang kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Uniknya rumah tongkonan ini dibuat tanpa mempergunakan bahan dari logam. Rumah adat tongkonan ini akan dibangun berjajar menghadap ke arah utara. Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (banga) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara

Tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. 


Sesuai dengan namanya, pemberian nama suatu tongkonan berdasarkan letak atau posisi tongkonan itu sendiri, seperti Tongkonan Belo Langi yang berarti tongkonan tempat tertinggi, juga berdasar pada nama daerah seperti Tongkonan Garampa dan arti khusus yang melekat pada tongkonan tersebut seperti Tongkonan Merbali. Adanya perbedaan struktur dari ketiga tongkonan tersebut semata-mata disebabkan karena pertimbangan banyak tidaknya ruangan dari suatu bangunan.
Perbedaan jumlah ruangan suatu tongkonan mengandung makna sosial dan ekonomi yaitu semakin banyak ruangannya semakin tinggi kedudukan tongkonan tersebut. Posisi atau letak tangga dan pintu tongkonan disesuaikan dengan konsep kepercayaan masyarakat Toraja yaitu Aluk Todolo. Pada dasarnya pola hias pada ketiga tongkonan tersebut pada umumnya banyak mengandung makna sosial, ekonomi dan religius magis terutama yang berhubungan dengan realitas kehidupan pada masyarakat Toraja.

Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘ dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk bangsawan berbentuk rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga terlebih dulu disimpan di alang sura (lumbung padi) selama 3 hari.

Gambar rumah adat toraja (Tongkonan)

Rumah Adat Limas Asal Daerah Sumatera Selatan

Rumah Adat Limas Asal Daerah Sumatera Selatan
Rumah Limas | photo : gosumatera.com
Penjelasan rumah adat Limas yang berasal dari daerah Sumatera Selatan. Rumah limas ditandai dengan bentuk atapnya yang berbentuk limas. Memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dengan filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatnya dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Bagian rumah untuk menerima tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua.


Di Malaysia, rumah limas banyak terdapat di Johor, Selangor dan Terengganu. Kebanyakan rumah limas Johor memiliki kolong, yaitu bagian bawah rumah berpagar dimana fungsinya untuk tempat menyimpan barang. Rumah limas jenis ini dikenal sebagai rumah baju kurung.
Arsitektur Rumah

Rumah limas sangat luas biasanya luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih dan sering digunakan sebagai tempat berlangsungnya hajatan atau acara adat. Didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.
Untuk tiang rumah, pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air. Berbeda dengan rangka rumah yang terbuat dari kayu Seru. Kayu ini cukup langka. Kayu ini sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah Rumah Limas, sebab kayu Seru dalam kebudayaannya dilarang untuk diinjak atau dilangkahi. Nilai-nilai budaya Palembang juga dapat Anda rasakan dari ornamen ukiran pada pintu dan dindingnya. Selain berbentuk limas, rumah tradisional Sumatera Selatan ini juga tampak seperti rumah panggung dengan tiang-tiangnya yang dipancang hingga ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis lingkungannya yang berada di daerah perairan.
Tingkatan yang dimiliki rumah ini disertai dengan lima ruangan yang disebut dengan kekijing. Hal ini menjadi simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia, jenis, bakat, pangkat dan martabat. Detail setiap tingkatnya pun berbeda-beda.
Setiap ruang dan tingkatan Rumah Limas memiliki karakteristiknya masing-masing seperti berikut ini.
Tingkat pertama
Disebut juga pagar tenggalung, ruangannya tidak memiliki dinding pembatas, terhampar seperti beranda saja. Suasana di tingkat pertama lebih santai dan biasa berfungsi sebagai tempat menerima tamu saat acara adat.
Tingkat Kedua
Disebut juga Jogan digunakan sebagai tempat berkumpul khusus untuk pria.

Tingkat ketiga
Disebut juga sebagai kekijing ketiga, dibatasi dengan menggunakan penyekat. Ruangan ini biasanya untuk tempat menerima para undangan dalam suatu acara atau hajatan, terutama untuk handai taulan yang sudah separuh baya.

Tingkat Keempat
Kekijing keempat memiliki posisi lebih tinggi lagi. Begitu juga dengan orang-orang yang dipersilakan untuk mengisi ruangan ini pun memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dan dihormati, seperti undangan yang lebih tua, dapunto dan datuk.

Tingkat Kelima
Ruang kelima yang memiliki ukuran terluas disebut gegajah. Didalamnya terdapat ruang pangkeng, amben tetuo, dan danamben keluarga. Amben adalah balai musyawarah. Amben tetuo sendiri digunakan sebagai tempat tuan rumah menerima tamu kehormatan serta juga menjadi tempat pelaminan pengantin dalam acara perkawinan. Dibandingkan dengan ruang lainnya, gegajah adalah yang paling istimewa sebab memiliki kedudukan privasi yang sangat tinggi.

Rumah Bolon, Rumah Adat Raja Batak Sumatera Utara

Rumah Bolon, Rumah Adat Raja Batak Sumatera Utara

Rumah Bolon adalah rumah adat suku batak di Sumatera Utara. Pada zaman dahulu kala, rumah bolon adalah merupakan tempat tinggal raja-raja di Sumatera Utara, dimana tercatat ada 14 raja antara lain : Pangultop-ultop 1624-1648 ; Ranjinman (1648 –  1669),  Nanggaraia (1670 – 1692), Butiran (1692 – 1717), Bakkararaja (1738-1738), Baringin (1738-1769), Bona Batu (1769-1780), Raja Ulan (1781-1769), Atian (1800-1825), Horma Bulan (1826-1856), Raondop (1856-1886), Rahalim (1886-1921), Karel Tanjung (1921-1931) dan Mogang (1933-1947).

Rumah Bolon terdiri dari beberapa jenis, dan rumah adat yang dapat ditemuan di masyarakat Batak yaitu rumah Bolon Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah Bolon Karo, rumah Bolon Mandailing, rumah Bolon Pakpak dan rumah Bolon Angkola. Setiap rumah mempunyai ciri khasnya masing-masing Sayangnya, rumah Bolon saat ini jumlah tidak terlalu banyak sehingga beberapa jenis rumah Bolon bahkan sulit ditemukan.

Rumah Bolon berbentuk panggung dengan tiang - tiang bulat bergaris tengah sekitar 40 cm menjadi penyangganya. Di sebelah kiri dan kanan tiang rumah ada ukiran yang menggambarkan payudara sebagai lambang kesuburan (odap-odap). Ada juga ukiran cicak sebagai lambang penjaga dan pelindung rumah (boraspati). Dinding rumah bolon berupa papan setebal 15 cm dihiasi ornamen khas Simalungun warna merah, hi­tam, dan putih yang menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis budaya Batak. Ukiran khas Batak yang disebut gorga adalah ornamen yang mengandung unsur mistis  penolak bala. Ukiran gorga ditempatkan di dinding rumah bagian luar. umumnya ukiran itu berbentuk lukisan hewan seperti cicak, ular ataupun kerbau. Padi  dan leher simbol kerbau yang terpasang di ujung bubungan atap, diikatkan seutas tali menggantung dua tatabu (la­bu berisi ramuan magis) disebut tanjung banu yang berfungsi untuk menang­kal petir dan api. Sedangkan atap rumah terbuat dari ijuk.
Rumah bolon terdiri dari beberapa bagian. Bagian depan (lopou). menja­di tempat puang pardahan (isteri raja pemasak makanan ta­mu) dan puang poso (pemasak nasi raja). Di sisi kanannya, ter­dapat kamar tidur raja dengan bentuk layak­nya rumah kecil yang memiliki atap, dinding dan pintu. Sedangkan dikolong­ kamar tidur tersebut, ada sebuah kamar ajudan raja yang dikebiri (ikasihkon).

Di dinding sebelah kanan ada dua gong (ogung) dan jika anak raja lahir putri, gong ini dipalu dalam bilangan genap. Sebalik­nya, lahir putra, bedil untuk upacara adat tersimpan agak ke dalam diletuskan dalam bilang­an ganjil.

Karena raja sering kawin, lo­pou pun menjadi sempit, sehing­ga diperluas ke belakang dan di­beri nama (Rumah Bolon). Inilah yang dihuni puang parorot (istri raja penjaga anak).

puang paninggiran (pimpinan upacara kesurupan), puang pamokkot (pimpinan upacara me­masuki rumah baru), puang siappar apei (pengatur ruangan dan memasang tikar), puang siombah bajut (pimpinan pembawa per­alatan makan sirih), puang bona, puang bolon (permaisuri), puang panakkut (bertugas di rumah bolon) dan puang juma bolang (istri raja memimpin perladangan).

Di sini juga, ada tiang pan ra­ja, tempat peletakan tanduk kerbau tanda penabalan raja. Ada 13 jumlah tanduk kerbau, menyatakan banyaknya raja

Rumah bolon didirikan oleh Raja Tuan Rahalim, raja yang gagah perkasa dan memi­liki 24 istri. Tapi, yang tinggal di istana hanya puang bolon (per­maisuri) dan 11 orang nasi puang (selir) serta anaknya sebanyak 46 orang. Yang 12 orang lagi tinggal dikampung-kampung di wila­yah kerajaannya. Sedangkan raja terakhir yang menempati Rumah bolon adalah Tuan Mogang Purba, dimana setelah Kemerdekaan RI yaitu pada tahun 1947 berakhir pula kedaulatan raja dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1961, pewaris Rumah Bolon menyerahkan rumah bolon beserta perangkatnya kepada Pemerintah Daerah Sumatera Utara/ Pemda Simalungun.

Demikian Sobat sekilas informasi mengenai rumah bolon yang merupakan rumah raja Batak pada masa lalu.


Rumah Adat Papua

Indonesia adalah negara dengan banyak suku. Hasilnya adalah Indonesia memiliki banyak rumah tradisional, bahasa, pakaian dan banyak lagi. Sekarang saya akan berbicara tentang Honai rumah tradisional dari Papua Berbagi informasi tentang rumah adat yang disebut Honai Papua.

Papua merupakan istilah umum untuk berbagai masyarakat adat dari New Guinea dan pulau-pulau tetangga, penutur bahasa Papua. Mereka sering dibedakan etnis dan bahasa Austronesia dari, speaker dari rumpun bahasa diperkenalkan ke New Guinea sekitar tiga ribu tahun yang lalu.


Dalam sebuah studi 2005 dari ASPM varian gen, Mekel-Bobrov et al. menemukan bahwa orang-orang Papua memiliki salah satu tingkat tertinggi yang baru berkembang ASPM haplogroup D, di 59,4% terjadinya alel sekitar 6.000 tahun. [1] Meskipun belum diketahui persis apa keuntungan selektif disediakan oleh gen ini varian, D alel haplogroup diduga dipilih positif pada populasi dan untuk memberikan beberapa keuntungan substansial yang menyebabkan frekuensi meningkat dengan cepat.

Menurut berbagai penelitian, orang-orang Papua, Melanesia lainnya, dan Aborigin Australia adalah manusia modern hanya dikenal yang nenek moyangnya prasejarah kawin dengan hominin Denisova, dengan siapa mereka berbagi 3-5% dari genom mereka
Rumah Papua yang disebut Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau reeds. bentuknya seperti jamur. Honai rumah sengaja dibangun ruang sempit atau ruangan kecil dan jendela untuk menahan pegunungan dingin Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan di tengah-tengah rumah disiapkan tempat untuk membangun api untuk menghangatkan mereka.
Arsitektur rumah tradisional Honai memiliki atap berbentuk kerucut yang terbuat dari Jerai atau gulma. Honai rumah ukuran umumnya kecil, dengan ketinggian sekitar 2,5 meter dan tidak ada windows. Tujuannya adalah untuk menahan pegunungan dingin. Di tengah biasanya ada tempat untuk membuat api unggun.

Honai dibagi menjadi tiga jenis yaitu honai untuk laki-laki (honai) untuk wanita (Ebei), dan babi (Wamai). Honai biasanya memiliki dua tingkat lantai dihubungkan dengan tangga. Rumah Honai suku rumah tradisional dengan rumah adat kesederhanaan arsitektur dapat ditemukan di lembah-lembah dan pegunungan di tengah pulau Papua, Puncak Jaya dalam iklim yang cukup dingin, ketinggian yang. 2.500 meter di atas permukaan laut. Inilah yang membuat kebiasaan ini rumah dirancang putaran Honai Papua dan pendek, bekerja untuk mengurangi angin dingin bertiup dari pegunungan.
Fungsi Honai: Sebagai tempat tinggal, sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat perang, mendidik dan menyarankan anak-anak untuk menjadi berguna di masa depan, merencanakan atau mengatur strategi perang untuk menjadi sukses dalam pertempuran atau perang dan tempat alat atau simbol masyarakat adat toko yang telah menduduki sejak sebelum Dani filosofi Honai Berputar-putar rumah honai memiliki filosofi yang dipegang teguh oleh perusahaan Dani, yang mencerminkan nilai-nilai diturunkan dari generasi ke generasi, sebagai berikut: Persatuan dan unit maksimal untuk mempertahankan dan mengirimkan budaya, etnis, martabat, harga diri dipertahankan oleh nenek moyang masa lalu hingga saat ini. Signifikan satu hati, satu pikiran dan tujuan dalam menyelesaikan pekerjaan.
Honai rumah memiliki satu pintu dan kecil, biasanya tanpa jendela dan ventilasi untuk aman dari binatang dan menjaga suhu ruangan tetap hangat. Tengah ruangan ada sebuah tungku yang digunakan untuk memasak dan untuk pemanas ruangan. Selain sebagai tempat berkumpul bagi keluarga.

Rumah Adat Natah Asal Daerah Provinsi Bali

Rumah Adat Natah Asal Daerah Provinsi Bali
Rumah Bali | Photo sigmanews
Penjelasan rumah Adat Natah Asal Daerah Provinsi Bali. Rumah adat Bali dibangun sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China). Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan.

Makna
Natah merupakan simbol tempat pertemuan antara purusa dan pradana, yaitu pertemuan antara langit dan bumi. Dengan demikian makna natah yang paling utama adalah memberi peluang suatu kehidupan, yakni berumah tangga selama jiwa bertemu dengan raga atau sepanjang ayat dikandung badan. Pertemuan purusa dan pradana ini menghasilkan benih-benih kehidupan. Keberadaan purusa (kelaki-lakian) yang berlawanan dengan pradana (kewanitaan) juga merupakan konsep rwa bhineda, dua hal yang bertentangan tetapi tidak saling memusnahkan dan menghilangkan salah satunya, melainkan keduanya harus berjalan selaras dan seimbang.

Aspek Tri Hita
Dalam pembangunan sebuah ruma harus meliputi aspek-aspek tersebut diatas yang biasa disebut juga Tri Hita Karana diantaranya:
  1. Pawongan merupakan para penghuni rumah.
  2. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
  3. Parhyangan yang berarti harus ada hubungan baik antara penghuni dan lingkungan dengan TUHAN melalui manifestasiNya.